Home About Archive Exit Top
KULIAH : LAPORAN MANUSIA DAN LINGKUNGAN : HUTAN
Senin, 06 Desember 2010 // 23.56

DEFINISI HUTAN
Secara etimologis, hutan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta, berarti kumpulan rapat pepohonan dan berbagai tumbuhan lainnya dalam suatu wilayah tertentu. Hutan adalah habitat bermacam spesies tumbuhan, spesies hewan, beberapa kelompok etnik manusia, yang berinteraksi satu sama lain, sekaligus dengan lingkungan sekitarnya. Hutan tidak hanya bermanfaat bagi spesies hewan, spesies tumbuhan, atau kelompok etnik tertentu yang meninggalinya saja.

MANFAAT HUTAN

Setidaknya ada tiga manfaat hutan yang berpengaruh global terhadap bumi sebagai habitat yang lebih luas. Tiga manfaat tersebut adalah : 
  1. hutan sebagai tempat resapan air : hutan merupakan daerah penahan dan area resapan air yang efektif. Banyaknya lapisan humus yang berpori-pori dan banyaknya akar yang berfungsi menahan tanah, mengotimalkan fungsi hutan sebagai area penahan dan resapan air tersebut. Kerusakan hutan bisa menyebabkan terganggunya fungsi hutan sebagai penahan air. Daerah dan habitat sekitar hutan yang rusak itupun sewaktu-waktu bisa ditenggelamkan banjir. Selain itu, kerusakan hutanpun akan membuat fungsi hutan sebagai area resapan terganggu. Ketiadaan area resapan ini bisa menimbulkan kelangkaan air yang bersih dan higienis, atau air siap pakai. 
  2.  hutan sebagai payung raksasa : Rapatnya jarak antara tetumbuhan satu dengan tumbuhan lainnya, juga rata-rata tinggi pohon di segenap lokasinya, berguna untuk melindungi permukaan tanah dari derasnya air hujan. Tanpa 'payung raksasa' ini, lahan gembur yang menerima curah hujan tinggi lambat laun akan terkikis dan mengalami erosi. Maka, dengan begitu, daerah-daerah sekitarnyapun akan rentan terhadap bahaya longsor. 
  3. hutan sebagai paru-paru dunia : Jika manfaat hutan sebagai daerah resapan terkait dengan keseimbangan kondisi air, bila fungsinya sebagai 'payung raksasa' terkait dengan kondisi tanah permukaan, maka sebagai 'paru-paru dunia' hutanpun 'bertanggung-jawab' atas keseimbangan suhu dan iklim. Kemampuan hutan hujan dalam menyerap karbondioksida, membuat suhu dan iklim di bumi selalu seimbang. Seandainya fungsi hutan sebagai 'paru-paru-nya dunia' itu terganggu, suhu dan iklim di bumi akan selalu bergerak ke titik ekstrem : kadang temperaturnya terlalu rendah, kadang temperaturnya bisa terlalu tinggi. 
  4. hutan sebagai wadah kebutuhan primer : Karena hutan kaya akan hasil bumi, hutanpun menyimpan manfaat bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan pokoknya. Rotan, madu, tanaman obat-obatan, dan banyak jenis sumber hayati lainnya, membuat hutan pantas dijuluki sebagai 'warung hidup' atau 'apotek hidup' besar. Dengan hutan hujan tropis yang sangat luas, rakyat Indonesia seharusnya tercukupi dalam hal kebutuhan pokok, terutama oleh sumber nabati dan hewani yang banyak terdapat didalam hutannya.
      Melihat lokasinya, hutan bumi terbagi dalam tiga kelompok besar : hutan tropis, hutan subtropis (temperate), dan hutan boreal. Brazil dan Indonesia adalah negara dengan hektaran hutan tropis terluas di dunia. Luas lahan hutan Indonesia sendiri adalah 140,3 juta Ha, dengan rincian : 30,8 juta Ha hutan lindung ; 18,8 juta Ha cagar alam dan taman nasional ; 64,3 juta Ha hutan produksi ; 26,6 juta Ha hutan yang dialokasikan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian, perumahan, transmigrasi dan lain sebagainya. Dari data dan rincian tersebut, berarti sekitar 54% dari total luas daratan negara kita adalah hutan. Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian dianataranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.


KERUSAKAN HUTAN

Ada empat faktor penyebab kerusakan hutan itu: penebangan yang berlebihan disertai pengawasan lapangan yang kurang, penebangan liar, kebakaran hutan dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman.

1.      PENEBANGAN YANG BERLEBIHAN DISERTAI PENGAWASAN LAPANGAN YANG KURANG
Hak Penguasaan Hutan Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori "sudah terdegradasi". Areal konsesi HPH yang mengalami degradasi memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang produktivitas, yang memungkinkan para pengusaha perkebunan untuk mengajukan permohonan izin konversi hutan. Jika permohonan ini disetujui, maka hutan tersebut akan ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan.

2.       PENEBANGAN LIAR (ILEGAL LOGGING)
Pembalakan liar atau penebangan liar (illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. 
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).

3.      PENGEMBANGAN WILAYAH PEMUKIMAN DAN SEBAGAI OBJEK WISATA
Objek wisata yang menarik ialah antara lain cagar alam dan daerah pegunungan. Pengembangan pariwisata di daerah itu telah banyak menyebabkan kerusakan hutan. Contoh yang sangat menyolok ialah di daerah megamendung-puncak. Banyak bungalow yang di bangun di lereng yang sangat miring sampai pada dekat- dekat puncak bukit. Hutan pun terus terdesak dan sudah hampir habis. Perkembangan pariwisata itu telah menjadi faktor penting terjadinya banjir kiriman kota jakarta. Dengan berkurangnya hutan, air hujan yang meresap kedalam tanah berkurang, sehingga pengisisan air tanah bekurang pula. Karena itu di sampingnya banjir, kekurangan air pun akan semakin parah.
Hilangnya hutan berarti pula makin besarnya erosi dan makin tingginya kandungan lumpur dalam air sungai. Kandungan lumpur yang tinggi menyebabkan air sungai berwarna keruh sehingga orang tidak tertarik untuk menjadikannya sebagai objek wisata lagi. Lumpur akan mengendap di hilir dan muara sungai, sehingga aliran air terhambat. Dengan terhambatnya aliran air sungai, kemungkinan terjadinya banjir makin besar. Dengan demikian sebenarnya banjir kiriman dan kekurangan air di jakarta sebagian telah dibuat oleh orang jakarta itu sendiri, terutama mereka yang berada yang membuat hotel dan bungalow di daerah megabendung-puncak.
Konon banyak hutan resapan air sekitar Jakarta yang telah berubah fungsi menjadi Real Estate, kompleks perkantoran atau apartemen, dan pusat perbelanjaan megah. Titik-titik resapan yang diubah fungsinya itu diantaranya adalah : kawasan Puncak, Cipayung, Bogor, dan Depok. Pengerasan tanah akibat pendirian gedung-gedung perkantoran, kompleks perumahan, lapangan parkir di bekas daerah hutan pegunungan tersebut, memberikan andil besar atas terjadinya banjir di kawasan Jabotabek. Tanpa area resapan dan penahan air yang mumpuni, terjadi ketidakseimbangan sistem input dan output air tanah di Jakarta dan sekitarnya. Karena ketidakseimbangan itu, air hujan yang deras mengguyur kota mengalir langsung sebagai air permukaan. Air bah itu akan berkelok-kelok di sekujur selokan, lalu meluapkan sungai di daerah-daerah tertentu, sehingga akhirnya mengalir ke laut.

4.       KEBAKARAN HUTAN

Kebakaran hutan dan lahan adalah sebuah kejadian terbakarnya kawasan hutan/lahan baik dalam luasan yang besar maupun kecil. Kebakaran hutan dan lahan seringkali tidak terkendali dan bila ini terjadi maka api akan melahap apa saja dihadapannya mengikuti arah angin. Kebalikannya, penyebaran api kebakaran di lahan gambut justru tidak mengikuti arah angin. Titik api justru berada dikedalaman lebih dari 2 meter. Pada kawasan gambut rembetan api akan meluas kesegala arah dan sulit untuk diperkirakan penyebarannya.

Mengapa terjadi kebakaran hutan/lahan


Kebakaran terjadi karena dua hal: karena ulah manusia baik disengaja maupun tidak disengaja dan karena terbakar dengan sendirinya. Kebakaran dengan sendirinya juga tidak disembarang tempat. Kebakaran dengan sendirinya hanya terjadi pada daerah yang tanahnya mengandung batubara. Pada daerah lain mustahil terjadi kebakaran dengan sendirinya. Hal ini disebabkan jenis hutan alam di Indonesia yang masuk dalam kategori Hutan Tropis (tropical Forest) atau Hutan Hujan Basah (Rain Forest)sehingga lantai hutan selalu dalam keadaan basah/lembab.

Untuk unsur kesengajaan, manusia sengaja melakukannya untuk membuka dan membersihkan lahan. Pembakaran hutan dalam waktu singkat juga diyakini dapat meningkatkan kesuburan tanah. Pada beberapa kelompok masyarakat yang masih memiliki kearifan tradisional, pembakaran hutan dilakukan sebulan sebelum musim penghujan. Hal ini diperlukan karena hutan/lahan yang terbakar dalam waktu yang lama malah justru menghilangkan kesuburan tanah.

Untuk unsur ketidak sengajaan biasanya terjadi pada musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau, sebatang rokok yang dibuang kesemak yang kering akan mampu menimbulkan api apabila angin bertiup perlahan. Bekas api unggun yang tidak mati dengan sempurna juga mampu memicu terjadinya kebakaran hutan/lahan.

Yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan

Untuk setiap hektar kebakaran hutan/lahan maka akan dihasilkan:
18,9 hingga 702 Karbon dioksida
1,5 sampai 11,5 Karbon monoksida
0,000009 sampai 0,000035 ton Bahan-bahan partikulat
0,4 sampai 2,6 juta ton ozon
0,0000009 ton amonia
0,33 juta ton oksida nitrogen

Benda-benda tersebut diatas sangat berbahaya apabila dihirup oleh manusia. Penyakit yang bisa ditimbulkan diantaranya Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Bronchitis dan Diare.
DAMPAK
Dampak pengabaian keberadaan hutan sebagai daerah penahan dan resapan air, bisa dilihat pada peristiwa banjir yang melanda beberapa Kabupaten, Propinsi Kalimantan, baru-baru ini. Banjir hebat yang meliputi : Kota Singkawang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu, ditengarai akibat kerusakan hutan di Pegunungan Meratus. Dampak pengabaian keberadaan hutan kota sebagai daerah penahan dan resapan airpun, bisa dilihat pada banjir besar yang menimpa ibukota beberapa tahun belakangan ini. Meskipun hutan kota secara luas lebih kecil dari hutan-hutan yang ada di pedalaman, namun fungsi keberadaannyapun tidak kalah vitalnya.

Pengabaian masyarakat terhadap manfaat hutan sebagai 'payung raksasa'-pun telah membuat berbagai daerah di Indonesia mengalami musibah longsor. Salah satu contoh tragis adalah musibah longsor yang terjadi di Pulau Nias, tahun 2001, empat tahun yang lalu. Musibah banjir dan longsor yang menelan puluhan korban jiwa dan ratusan rumah penduduk itu, ternyata disebabkan oleh rusaknya 95.000 hektar hutan di hulu Sungai Masio, Kabupaten Nias, Sumatera Utara. Padahal, menurut Gubernur Propinsi Sumatera Utara ketika itu, tidak ada izin yang dikeluarkan untuk mengeksploitasi hutan yang menjadi daerah tangkapan air dan daerah aliran sungai (DAS) Sungai Masio. Menurutnya, kawasan yang meliputi hutan lindung dan hutan produksi itu mengalami kerusakan berat oleh ulah para penebang liar. Selain itu, kerusakan hutan juga dapat menyebabkan hilangnya rumah atau habitat asli bagi satwa yang tinggal di dalam hutan. dampak yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan adalah :

Dampak terhadap sosial budaya dan ekonomi:

a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat dan terganggunya aktivitas sehari-hari.
b. Peningkatan jumlah hama.
c. Terganggunya kesehatan: Brochitis, ISPA, diare dll.

Dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan
a. Hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna
b. Terjadinya banjir di daerah yang hutan gambutnya terbakar
c. Polusi udara dan air
d. Pada jangka panjang dapat menurunkan kesuburan tanah

Secara fisik
a. Tanah menjadi rusak dan terbuka sehingga ketika terjadi hujan maka lapisan tanah teratas akan terbawa ke sungai dan mengendap disana (sedimentasi). Lama kelamaan sungai menjadi dangkal sehingga ketika musim hujan yang panjang akan menyebabkan banir
b. Mempercepat proses penggerusan lapisan hara yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh subur

Secara Kimia
Terjadinya peningkatan keasaman tanah

Secara Biologi

Membunuh organisme tanah yang bermanfaat bagi upaya peningkatan kesuburan tanah


Dampak yang dipaparkan diatas masih tergolong lokal, maka pengabaian masyarakat terhadap fungsi hutan sebagai 'paru-paru' dunia menimbulkan dampak global yang sungguh-sungguh memprihatinkan. Bagaimana tidak ? Sebab kerusakan hutan hujan tropika Indonesia yang termasuk terluas di dunia itu, iklim dan suhu bumi akan bergerak diantara titik-titik ekstrem, zat karbon menjadi tidak ternetralisir, dan bahkan eksesnya bisa sampai memicu badai global di seantero dunia. Badai global tersebut dipicu dari ketiadaan 'media alamiah' (hutan) yang bisa menyerap gas karbon dioksida. Sehingga, jumlah karbon menjadi tidak seimbang, dan gas karbon dioksida pada atmosfirpun tidak bisa dikonversi menjadi gas oksigen yang mencukupi bagi bumi. 
 Karena sifat gas karbon yang bisa mengurung panas (seperti rumah kaca), maka suhu atmosfir bumi terus naik sampai ke titik panas yang ekstrem. Terjadilah pergeseran arus gelombang panas di laut yang kemudian memicu terjadinya perubahan tekanan, yang lalu menimbulkan angin besar (badai). Tak hanya sampai disitu, kenaikan suhu atmosfir bumi itupun bisa menimbulkan banjir besar di berbagai kawasan, karena salju di kutub ataupun salju abadi yang meliputi puncak-puncak gunung tertentu terus mencair.

UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM MEMPERBAIKI DAN MENCEGAH TERJADINYA KE RUSAKAN HUTAN

Pemerintah Indonesia melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih. Dan di tahun 2003, Departemen Kehutanan telah menurunkan jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh ditebang oleh pengusaha hutan) menjadi 6,8 juta meter kubik setahun dan akan diturunkan lagi di tahun 2004 menjadi 5,7 juta meter kubik setahun.

Pemerintah juga telah membentuk Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) yang bertugas untuk melakukan penyesuaian produksi industri kehutanan dengan ketersediaan bahan baku dari hutan.

Selain itu, Pemerintah juga telah berkomitmen untuk melakukan pemberantasan illegal logging dan juga melakukan rehabilitasi hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang diharapkan di tahun 2008 akan dihutankan kembali areal seluas tiga juta hektar.

Sayangnya Pemerintah masih menjalankan itu semua sebagai sebuah ucapan belaka tanpa adanya sebuah realisasi di lapangan. Hingga tahun 2002 masih dilakukan ekspor kayu bulat yang menunjukkan adanya pelanggaran dari kebijakan pemerintah sendiri. Dan pemerintah masih akan memberikan ijin pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman seluas 900-an ribu hektar kepada pengusaha melalui pelelangan. Pemerintah juga belum memiliki perencanaan menyeluruh untuk memperbaiki kerusakan hutan melalui rehabilitasi, namun kegiatan tersebut dipaksakan untuk dilaksanakan, yang tentunya akan mengakibatkan terjadinya salah sasaran dan kemungkinan terjadinya kegagalan dalam pelaksanaan.

Hal yang terpenting dan belum dilakukan pemerintah saat ini adalah menutup industri perkayuan Indonesia yang memiliki banyak utang. Pemerintah juga belum menyesuaikan produksi industri dengan kemampuan penyediaan bahan baku kayu bagi industri oleh hutan. Hal ini dapat mengakibatkan kegiatan penebangan hutan tanpa ijin akan terus berlangsung.

Dan dengan hanya menurunkan jatah tebang tahunan, maka kita masih belum bisa membedakan mana kayu yang sah dan yang tidak sah. Bila saja pemerintah untuk sementara waktu menghentikan pemberian jatah tebang, maka dapat dipastikan bahwa semua kayu yang keluar dari hutan adalah kayu yang tidak sah atau illegal, sehingga penegakan hukum bisa dilakukan.


Untuk menghentikan kerusakan hutan di Indonesia, maka pemerintah harus mulai serius untuk tidak lagi mengeluarkan ijin-ijin baru pengusahaan hutan, pemanfaatan kayu maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku ekspor kayu bulat dan bahan baku serpih. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap kinerja industri kehutanan dan melakukan penegakan hukum bagi industri yang bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan penataan kembali kawasan hutan yang rusak dan juga menangani dampak sosial akibat penghentian penebangan hutan, misalkan dengan mempekerjakan pekerja industri kehutanan dalam proyek penanaman pohon.

Kemudian, bila telah tertata kembali sistem pengelolaan hutan, maka pemberian ijin penebangan kayu hanya pada hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal.
Selama penghentian sementara [moratorium] dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.

Dan yang terpenting adalah mengembalikan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan hutan, karena rakyat Indonesia sejak lama telah mampu mengelola hutan Indonesia.

Individu pun dapat membantu mencegah adanya kerusakan hutan yang lebih parah yaitu dengan menulis surat ataupun melakukan tekanan kepada pemerintah agar serius menjaga hutan Indonesia yang tersisa. Selain itu, lakukan pengawasan terhadap peredaran kayu di wilayah terdekat, dan berikan laporan kepada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terdekat ataupun lembaga non pemerintah lainnya dan kepada instansi penegak hukum, serta media massa, bila menemukan terjadinya peredaran kayu tanpa ijin maupun kegiatan pengrusakan hutan.

Dan mulailah menanam pohon untuk kebutuhan kayu keluarga di masa datang, memanfaatkan kayu dengan bijak dan tidak lagi membeli kayu-kayu hasil penebangan yang merusak hutan.

Label:


-------------